Jumat, 17 Desember 2010

Wako Ditanya soal KTP hingga Toilet

Roundtable Discussion 11 Tahun Otonomi Daerah di Pekanbaru menjadi ajang curhat bagi beberapa tokoh Pekanbaru. Tak hanya soal pelayanan publik yang umum, namun juga hingga detilnya. Hal ‘’remeh’’ seperti kurang senyum aparat saat pengurusan KTP hingga tak adanya toilet umum perkotaan juga jadi sorotan.
Pernyataan soal pelayanan publik yang satu ini (toilet) memang membuat Wali Kota Pekanbaru, Drs Herman Abdullah MM tersenyum dan geleng-geleng kepala. Pertanyaan ini berasal dari pengamat perkotaan, Ir Mardianto Manan, yang merasa sebagai kota besar seharusnya
Pekanbaru sudah memiliki sarana berupa toilet umum yang memadai.
Dia mengacu pada beberapa kota besar di luar negeri. Pertanyaan ini hanya dijawab sekadarnya oleh Herman, bahkan dengan sedikit canda. Namun dia juga berjanji akan membenahinya ke depan. Pertanyaan ‘’remeh’’ lainnya, yakni soal pelayanan pembuatan KTP yang kurang ramah dan tanpa senyum dijawab wali kota dengan serius.
‘’Memang kita terus berusaha membenahi pelayanan publik, termasuk keramahan aparat saat melayani. Tapi mengubah mindset ini memang sulit dan perlu waktu. Ada yang dapat segera diubah, tapi ada juga yang sulit, misalnya yang di kelurahan,’’ ujar Herman.
Hal itu disebutkannya saat menjadi pembicara dalam Roundtable Discussion 11 Tahun Otonomi di Riau di ruang redaksi Riau Pos, Kamis (16/12) siang. Turut menjadi pembicara dalam diskusi kemarin Dekan Fisip Universitas Riau Drs Ali Yusri MSi dan Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Wilayah Riau Peng Suyoto.
Hadir juga CEO Riau Pos Media Grup Makmur SE Ak MM, Pemimpin Redaksi Riau Pos Raja Isyam Azwar, Wapimum Riau Pos Herianto, dan Wapemred Riau Pos Abdul Kadir Bey yang sekaligus sebagai moderator. Wali Kota juga membawa beberapa bawahannya seperti Kepala Bappeda Drs Sofian, Kadis PU Ir Dedi Gusriadi, Kadis Pendidikan Drs Yuzamri Yakub dan beberapa pejabat lainnya. Hadir juga beberapa pengusaha seperti Darmawan, akademisi Dr Tang Antoni, mantan anggota DPR RI asal Riau, Fachruddin, dan beberapa nama lainnya.
Herman mengakui, di balik keberhasilan pembangunan kota dan masyarakatnya itu, masih ada kekurangan dan itu tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah sendiri. Masyarakat, kalangan usaha dan stakeholder lainnya juga harus ikut serta.
Menurut Herman, mengawali masa kepimpinannya di Kota Bertuah pada 2001 dengan luas wilayah mencapai 621 Km2, delapan kecamatan, 42 kelurahan pendapatan asli daerah berkisar Rp38 miliar-Rp40 miliar per tahun dan APBD Rp215 miliar.
Seiring dengan perjalanan waktu, pria yang sebelumnya malang-melintang di dunia birokarasi pemerintahan ini menyebutkan semua itu berubah drastis, meliputi PAD yang mencapai Rp185 miliar, APBD yang mencapai Rp1,5 trilun lebih, pemekaran kecamatan mencapai 12 dan 58 kelurahan, pertumbuhan ekonomi 8,8 persen dan Indeks Pembangunan Manusia 77,54.
“Perubahan ini dirasakan semasa era otonomi, di mana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelolaanya, ditambah lagi penguasaan pengelolaan anggaran oleh daerah. Pemerintah daerah bisa melakukan kreativitas dalam membangun daerahnya. Andai saja tidak ada otonomi, barangkali Pekanbaru tidak seperti sekarang ini,” kata Herman.
Perkembangan demi perkembangan yang dibuktikan dengan geliatnya pembangunan dan investasi yang ditanamkan oleh investor menjadikan Pekanbaru sebagai tumpuan aktivitas perekonomian bagi kalangan dunia usaha.
Sebagai ibu kota provinsi, Pekanbaru memiliki keunggulan lebih dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Riau. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki Pekanbaru menimbulkan hal positif, berupa penghargaan dari pemerintah pusat dalam berbagai bidang.
Kemajuan yang dirasakan oleh Pemko Pekanbaru ini, kata mantan Sekko Pekanbaru ini, menimbulkan arus urbanisasi ke Pekanbaru. Berbagai atensi datang ke Pekanbaru untuk mengadu nasib, dan Pemko tetap memberikan tempat.
Di Pekanbaru, dari beragam etnis yang ada, semuanya tetap mendapat perlakuan yang sama dari Pemko. Kondisi itu juga ditambah dengan rentetan bencana yang menimpa daerah tertangga. Mulai dari tsunami Aceh, gempa bumi di Sumut dan Sumbar serta gunung meletus.
Pekanbaru pun dipilih sebagai pilihan untuk berusaha dan menetap.
Namun demikian, salah satu yang diakui Herman masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan adalah soal pelayanan aparatur. Ini juga yang banyak mengemuka dalam forum diskusi kemarin. Mulai dari pelayanan pembuatan KTP, fasilitas umum, taman kota dan sebagainya.
Dalam diskusi tersebut terungkap Pemko Pekanbaru seolah-olah larut dengan kemajuan pembangunan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga mengabaikan perhatian kepada pelayanan publik dan fasiltas umum masih jauh dirasakan kurang.
Bahkan sempat keluar sinyalemen Pemko “pelit” untuk menyediakan fasiltas umum.
“Boleh disaksikan dalam pengurusan pembuatan atau perpanjangan KTP atau KK, di mana waktunya selalu molor dari jadwal yang ditetapkan. Belum lagi biaya yang dikenakan. Ditambah lagi pelaku aparatur yang kurang bersahabat,” ujar peserta diskusi Syamsul Bahri Samin yang juga Pemred Pekanbaru Pos.
Dia menyebutkan, seyognyanya yang namanya pelayanan itu harus konsisten dan tepat waktu, begitu juga dengan yang pemberi pelayanan itu, dapat menyesuaikan dengan apa yang membidanginya dan tahu akan tugasnya.
Kebanyakan aktivitas pelayanan di tingkat kecamatan dan kelurahan selalu tidak optimal, karena masyarakat selalu dibuat bingung dan kurang mendapatkan pelayanan.  “Ini yang seharusnya menjadi catatan penting Pemko dalam meningkatkan pelayanan kepada warganya. Jangan menganggap hal ini sepele tapi warga yang dirugikan,” kata Syamsul lagi.
Sementara dalam palayanan publik masih dirasakan kurang, fasilitas umum juga begitu. Pengamat perkotaan Mardianto Manan menyebutkan bahwa ketiadaan toilet umum menjadi nilai minus di tengah prestasi yang diraih.
Akibatnya, warga kota yang hendak membuang hajat kebingungan, mau buang di mana. “Maka jangan heran jika warga kota sendiri bersikap sembrono dan apatis pada Pemko, karena Pemko sendiri yang membuatnya seperti itu,” kata Mardianto Manan yang mengeluhkan tidak adanya toilet di wilayah kota.
Dikatakan Mardianto, semangat untuk memajukan daerah untuk menjadikannya terdepan adalah impian setiap kepala daerah, siapapun pemimpinnya, naluri untuk memajukan dan menyejahterakan masyaratnya adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Kota Pekanbaru sendiri, diakui Mardianto, jika dibandingkan tempo dulu dengan sekarang jauh terasa sekali bedanya. Pekanbaru berubah 180 derajat. Perubahan ini dilakukan paska-pemberlakukan otonomi daerah.
“Namun perlu diingat, di balik kemajuan kota itu, fasilitas dan pelayanan publik bagi warganya juga harus diutamakan,” saran dia.
Akademisi dari Unri,  Drs Ali Yusri MS, yang diundang menjadi pembicara pembanding juga mengungkapkan beberapa masukannya. Menurut dia, harus diakui secara jujur, banyak keberhasilan yang dicapai Pekanbaru. Namun di balik keberhasilan itu sayangnya belum terbentuknya karakter masyarakat kota atau coorparate culture yang meliputi budaya kerja dan budaya masyarakatnya.
“Sehingga yang muncul adalah individualistik masyarakatnya yang tinggi. Kecintaan akan Kota Pekanbaru sendiri oleh warganya tidak ada,” kata dia.
Menurut Ali, seharusnya Pemko Pekanbaru membangun karakter masyarakatnya, agar terjadi kesinambungan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pemerintah.
Di samping itu juga yang tak boleh lupa adalah menciptakan rasa aman dan jaminan kebutuhan kepada masyarakatnya, bukan bicarakan kewenangan dan porsi “kue” antara pemerintah dengan bawahannya.
Kendati pun kemajuan kota ini amat dirasakan, namun tidak lepas namanya penyakit sosial, seperti gelandangan dan pengemis. Gepeng seolah telah mendarah daging bagi Kota Pekanbaru dan begitu sulit dihilangkan. Herman Abdullah mengakui jika pada tataran pelayanan publik masih dirasakan kurang. Hal ini dikarenakan karena SDM belum memadai.
“Saya akui pelayanan itu harus dibenahi dan diperbaiki. Selain tu mindset pegawai juga harus diubah. Namun paling tidak Pemko telah berusaha memaksimalkan dalam pemberian pelayanan. Hanya saja kurang optimal,” kata Herman.
Begitu juga fasiltas umum, Herman mengatakan, Pemko bukannya “pelit” untuk menyediakan fasilitas umum, karena semuanya itu sudah dirancang dan disediakan. Dia menjamin, boleh dilihat dimana fasiltas umum yang tidak ada, semuanya ada. Hanya saja jumlahnya yang minim. Menyangkut dengan ketersedian toilet umum hal ini dipandang perlu, namun tidak porsinya wali kota.
“Kita paham akan hal ini, namun hal seperti toilet ini sudah barang tentu dicarikan solusinya. Memang di tempat umum fasilitas ini diperlukan, dan hal ini segera ditindaklanjuti,” kata dia.
Menyangkut maraknya keberadaan gepeng, menurut Herman, bukan hanya ada di Pekanbaru, melainkan juga di kota-kota besar, keberadaan gepeng selalu marak. Khusus di Pekanbaru gepeng ini umumnya berasal dari luar, dan terorganisir dan Pemko telah memiliki cara untuk mengatasi hal itu, dengan cara melakukan pembinaan kepada para gepeng itu. “Bukan hanya Gepeng, PSK pun tak luput dari perhatian Pemko.
Bahkan kawasan lokalisasi sudah dikosongkan, dan Pemko mengembalikan para pekerjanya ke tempat asalnya. Semua ini dilakukan oleh Pemko untuk mencegah lebih jauh penyakit sosial kemasyarakatan,” kata wali kota Pekanbaru dua periode ini.
Peran Tionghoa
Lalu bagaimana otonomi di Pekanbaru dirasakan oleh warga Tionghoa? Ketua PSMTI Riau Peng Suyoto mengatakan, era otonomi memberikan sedikit peluang bagi warga Tionghoa untuk bisa beraktivitas. Selama ini orang Tionghoa dikenal sebagai pedagang, padahal banyak yang bisa dilakukan mereka selain berbisnis, termasuk bidang politik dan budaya. “Kami adalah orang Indonesia.
Maka sudah seharusnya pemerintah jangan membedakan kami. Berikan kami kesempatan yang sama pada warga lainnya, baik dalam politk, budaya keamanan dan sebagainya,” sebut dia.
Saat ini menurut dia, era otonomi memberikan angin segar bagi warga Tionghoa dalam menjalankan aktivitasnya.
Diskusi yang berlangsung dalam suasana santai membuat antusiasme peserta diskusi meningkat. Apalagi dalam diskusi ini diselingi dengan humor dari para pemateri dan juga peserta, sehingga peserta tidak larut dalam kondisi serius.
Diskusi ini dibuka langsung oleh CEO Riau Pos Media Grup H Makmur SE Akt MM. Diskusi ini adalah rangkaian kegiatan HUT ke-20 Riau Pos. Ada 20 kegiatan yang dilakukan oleh Riau Pos bersempena hari jadinya, salah satu adalah diskusi ini.
“Diskusi ini, merupakan bentuk perhatian dan kepedulian dari Riau Pos terhadap keberlangsungan otonomi daerah di Riau, di mana mendatangkan langsung kepala daerahnya,’’ ujarnya.(fia/*3)

Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru m-amin@riaupos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar